“Yah, terlalu pagi”, gerutuku dalam hati, tepat ketika kulihat miss Ratih – pelatih silat di sekolahan anakku masuk ke tempat parkir. Miss Ratih kemudian menghampiri dan menyalamiku sambil tersenyum. “Ada apa bu?” tanyanya, melihatku memukul pahaku sendiri. “Aku lihat sampeyan jadi ingat mbak. Ini Kamis, ada silat, pulangnya jam 2 kan. Aduh kepagian aku kesini,” kulirik jam digital di hape keluaran Cina-ku itu. 11.45. masih dua jam-an lagi nih. Kuketik sedikit pesan sms ke seorang wali murid yang rumahnya dekat sini. Sesaat setelah pesan terkirim, hujan mulai turun. Anak keduaku, Aji, meluncur ke lapangan dengan riang. “mama hujaann….” Teriaknya.

Dengan terpaksa aku mengirim sms untuk membatalkan rencanaku datang main ke rumah wali murid itu tadi. Sayang sekali, soalnya dia tadi ngajak makan nasi uduk sama-sama. Supaya niat baiknya tidak melayang percuma, aku kunci saja dengan kata-kata, “nanti kapan-kapan aja deh mainnya. Dan aku siapkan perutku kosong, ya  “

Percakapan dengan miss Ratih berjalan mengalir lagi. Omong punya omong, ternyata beberapa hari yang lalu ada kejuaraan silat antar sekolah se-Surabaya. Malah dihadiri sekolahan se-Jawa Timur, khusus padepokan silat Pagar Nusa. Padepokan silat yang cenderung diikuti muslim NU. Sesuai dengan sekolah islam tempat anak pertamaku – Aldo, berada, SD Khadijah 3 Surabaya. Bukannya saya militan NU. Hanya saja sejak kecil, kebetulan saya dan suami, mendapat pendidikan agama berbasis NU. Maka lebih mudah jika anak mendapat basis yang sama. Untuk memperbandingkan mana yang lebih baik, saya sungguh tak punya kapasitas apa-apa. Saya ini penganut aliran Islam damai dan saling menyayangi – itu yang selalu saya katakan jika ada pertanyaan tentang perbedaan semacam ini. Maklumi jugalah, saya nih sekolahnya negeri banget. Jadi ilmu agamanya kurang banget. Ok. Pembicaraan bertema ini kita hentikan dulu sampai di sini. Ada beberapa hal yang ingin saya bagi karena mengusik hati beberapa hari kemudian.

Karena hujan, duduk di depan toilet siswa bukanlah pilihan yang menyenangkan. Maka aku putuskan lari masuk ke dalam kelas 3 C, kelasnya Aldo. Sementara Aji lari mengikuti kakaknya keluar untuk membeli jajan. Di dalam kelas, aku sempatkan berkeliling. Mengamati tempelan kertas yang menghiasi beberapa sisi dinding kelas.

Ada poster bahasa Arab, Jadwal Piket, dan beberapa aturan dalam kelas. Mataku terhenti pada deretan kertas yang berjajar di bagian belakang. Ada nama-nama di tiap kertas, serta tempelan stiker berbentuk bintang dan wajah tersenyum. Diatas deretan kertas ini ada tulisan PRESTASI SISWA. Dahiku berkerut, jumlah kertas yang berderet tidak sesuai dengan jumlah siswa dalam kelas. Itu terlalu sedikit, kenapa?

Aku pun bergerak mendekat. Pertama membaca nama dari kertas yang mempunyai stiker terbanyak. Bila, Sauqi. Aku tersenyum, hebat, ada anak lelaki, dan anak perempuan. Sebanding. Biasanya di usia sekolah dasar ini, anak perempuan yang lebih menonjol, karena mereka lebih rajin. Sementara anak lelaki biasanya meningkat pesat prestasinya ketika sudah kelas lima SD atau SMP, setelah akil baligh. Mataku masih menjelajah. Dan dari satu persatu nama yang kubaca, tidak ada nama anakku, Aldo. Kenapa?

Aku pun terdiam. Mengambil duduk di satu bangku kecil. Kumenatap papan tulis putih di depanku, dan berharap ada jawaban yang tertulis di situ. Aku kecewa. Sedikit. Namun kecewa juga. Nama anakku tidak ada disitu. Apakah dia tak pernah menunjukkan prestasi sedikitpun? Walaupun di kertas berstiker itu tidak ada keterangan jenis kegiatan apa yang dinilai.

Aku pun teringat kalimat singkat yang diucapkan bapak guru wali kelas anakku, ketika beliau berkunjung ke rumah, setelah beberapa hari anakku absen karena sakit. Beliau berkata, “ah kalau Aldo, yaa…biasa-biasa saja bu….tidak menonjol…biasa-biasa saja. Ya kan Do,”. Pada waktu itu pun aku sebenarnya ingin menyanggah. “Mungkin menurut bapak, anak saya biasa-biasa saja. Tetapi menurut saya, dia luar biasa.” Tapi saat itu aku, dan suamiku hanya tersenyum. Entah bagaimana perasaan anakku ketika mendengar hal itu, ah sayang sekali aku lupa menanyakannya. Saat itu aku hanya membesarkan hatinya, “wah mas hebat rek, dikunjungi gurunya. Mereka kangen tuh, sayang tuh…” walaupun sebenarnya kunjungan itu adalah aturan tertulis dari sekolahan. Bagi siswa yang sakit lebih dari empat hari, harus dikunjungi. Kecuali jika sampai opname. Walah belum empat hari, sudah harus dikunjungi. Karena Aldo tidak opname, hanya sakitnya berderet terus menerus, akibatnya lebih dari empat hari, hampir seminggu absen, maka mendadak tiga orang guru mengunjungi kami di rumah.

Benarkah anakku biasa-biasa saja?
Aku masih merenung. Kuingat diriku sendiri ketika jaman sekolah. Langganan juara kelas. Kalau tidak rangking satu ya rangking dua. Itu pun dengan belajar sendiri. Saudaraku sudah terlalu jauh jaraknya, sudah SMP, SMA dan kuliah. Juga karena terlalu banyak anak,mungkin, jadi masing-masing hanya mengurus diri sendiri. Pun begitu dengan kedua orang tuaku, yang tak lulus sekolah dasar. Mereka hanya bisa setia menemani kami – anak anaknya belajar, mengajari tentu tak mampu. Tetapi prestasiku kenapa bisa jadi juara kelas. Mungkin ditemani orang tua lebih manjur daripada didikte oleh guru les ya? 

Prestasi?
Apakah itu yang disebut prestasi? Aku merenung sendiri. Jika ditelaah lebih jauh, saat itu aku hanya suka sekali membaca dan suka sekali belajar. Terutama saat ujian, rasanya seperti bertualang ke hutan hujan tropis berbekal pisau pendek. Seru dan menegangkan sekali. Ajang pembuktian diri. Aku menonjol sekali pada bidang matematika, sains dan bahasa.

Kembali ke Aldo. Sejak kelas tiga, Aldo menunjukkan minat lain. Jika kelas satu dan dua, dia tampaknya tertarik pada matematika dan sains. Di kelas tiga ini, dia lebih suka bahasa inggris dan menggambar. Bahasa Jawa dan bahasa Arab, kulihat juga lebih cepat mengerti atau menghafal kosakata baru.

Dia pun tak terlalu tertarik menjadi juara kelas. Dan itu mungkin juga hasil dari bimbinganku. Bahwa sekolah, belajar itu adalah kegiatan yang disukai oleh Allah SWT, bernilai ibadah, menjadi jalan menuju surga. Jika ketika belajar, kita salah, maka santai sajalah, dan perbaiki kesalahan itu. Siapapun si juara kelas, aku tak pernah memperbincangkannya dengan Aldo. Juara kelas bukan target.
Nah, sudah tepatkan parentingku tentang belajar dan sekolah?
Kok hatiku masih gundah karena nama anakku tidak ada di lembar berstiker prestasi itu? Bahkan Aldo pun tak pernah mengeluh dan membicarakan hal ini. Apakah dia tak terganggu? Atau ada yang di sembunyikan di dalam hatinya? Untuk hal ini akan kutanyakan nanti.